Friday, April 30, 2010

PERUSAHAAN SEBAGAI LEMBAGA SOSIAL by; futho uin ml9

PERUSAHAAN SEBAGAI LEMBAGA SOSIAL

Beberapa tahun terakhir ini banyak perusahaan yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan memberikan sumbangan dana untuk kegiatan-kegiatan sosial. Hal ini menarik untuk dicermati dan dijadikan sebagai bahan kajian.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh PIRAC (Public Interst Research and Advocacy center) tentang potensi sumbangan perusahaan-perusahaan dalam kegiatan sosial. Pada tahun 2001 ditemukan angka sebesar 115,3 milliar rupiah dana yang disumbangkan dari 180 perusahaan baik perusahaan lokal, nasional, maupun multinasional di Indonesia.

Fenomena ini sungguh menggembirakan kita semua, mengingat dana tersebut bisa menjadi alternatif pembiayaan program-program pengentasan kemiskinan dan masalah-masalah sosial lainnya. Karena selama ini berbagai kegiatan sosial banyak bergantung dari dana yang dikucurkan pemerintah seperti Jaring Pengaman Sosial (JPS) maupun dana swadaya masyarakat melalui Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada. Fenomena tersebut menunjukkan bahwa perusahaan bisa menjadi salah satu sumber dana lokal yang potensial, mengingat banyaknya perusahaan yang berminat dan memiliki kepedulian dalam mendanai kegiatan kegiatan sosial. Bahkan sumber dana perusahaan ini relatif cukup besar jika dibandingkan dengan dana perorangan atau pemerintah.

Bagi perusahaan itu sendiri, sumbangan dalam aktivitas sosial yang dilakukan merupakan manifestasi dari tanggung jawab sosialnya (corporate social responsibility). Ada empat tanggung jawab perusahaan dalam kaitan ini. Pertama, tanggungjawab ekonomi dengan menghasilkan laba. Kedua, tanggung jawab legal dengan menaati hukum dalam kegiatan usahanya. Ketiga, tanggung jawab etika dengan menghindarkan diri dari praktek-praktek yang bertentangan dengan nilai nilai yang tumbuh di masyarakat. Keempat, tanggungjawab filantropis dengan memberikan kontribusi dana sosial kepada masyarakat. Tanggung jawab filantropis inilah yang mendorong perusahaan untuk memberikan sumbangan terhadap aktivitas-aktivitas sosial.

Disisi lain, sejak runtuhnya orde baru, kini mulai banyak bermunculan LSM-LSM yang berkhidmah pada kepedulian terhadap masalah-masalah sosial. Hal ini disebabkan karena ketidakpastian masyarakat terhadap kinerja pemerintah dalam menangani masalah-masalah sosial yang ada sekarang ini.

Masalah kemiskinan contohnya, hal ini menjadi persoalan yang kritis bagi perekonomian negara, bahkan menurut data Biro Pusat Statistik (BPS) sampai akhir tahun 2002 tercatat 38,7 juta atau sekitar 17,8 % dari penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Disamping masalah kemiskinan yang begitu besar, perkonomin juga dihadapkan pada persoalan tingginya angka pengangguran. Masih menurut data BPS, tercatat sebanyak 36 juta penduduk Indonesia adalah pengangguran.

Tingginya angka kemiskinan dan pengangguran ini memberikan dampak yang sangat signifikan dalam kehidupan sosial politik dan ekonomi kita. Kita masih ingat, krisis ekonomi yang dimulai pada pertengahan tahun 1997 mengakibatkan menurunnya daya beli masyarakat secara drastis yang menimbulkan gejolak sosial politik yang luar biasa. Masih segar dalam ingatan kita, tindakan anarkisme yang berupa pembakaran dan penjarahan habis-habisan sebagai akibat kondisi krisis yang berkepanjangan.

Dampaknya terhadap perekonomian nasional pun sampai saat ini belum bisa dipulihkan. Alih-alih pulih, dengan daya beli masyarakat yang begitu rendahnya masih ditambah dengan rencana kebijakan pemerintah yang kontroversial dengan pencabutan subsidi pendidikan, menaikkan tarif dasar listrik, tarif telpon dan harga BBM, yang menimbulkan gelombang demonstrasi besar dimana-mana.

Sementara itu, sumber-sumber keuangan pemerintah tidak bisa diandalkan sepenuhnya dalam mengatasi masalah-masalah sosial yang ada. Alokasi dana sosial seperti halnya JPS pun juga tak banyak membantu karena ternyata banyak diselewengkan oleh para pejabat tanpa nurani. Hal ini menjadi kajian publik yang akhirnya mendorong munculnya lembaga lembaga swadaya masayarakat yang melakukan penggalangan dana dari masyarakat dan menyalurkannya dalam berbagai bentuk program sosial. Dan justru dari lembaga-lembaga seperti inilah dana sosial masyarakat terkelola secara amanah dan profesioanal dan tepat sasaran.

Saya ingin mengaitkan potensi dana sosial perusahaan yang disalurkan untuk aktivitas sosial melalui keberadaan lembaga–lembaga swadaya masyarakat yang berkaitan dengan aktivitas-aktivitas sosial secara langsung dengan mengulas keuntungan yang bisa diperoleh bagi perusahaan itu sendiri.

Menurut hasil penelitian PIRAC, selama ini kontribusi dana sosial perusahaan disalurkan melalui empat model kedermawanan. Pertama, keterlibatan secara langsung. Perusahaan menjalankan kegiatan kedermawanannya secara langsung dengan menyelenggarakan sendiri kegiatan sosial dan menyerahkan sumbangannya kepada masyarakat tanpa perantara pihak lain. Kedua, melalui yayasan/organisasi sosial yang dibentuk dan dimiliki oleh perusahaan yang bersangkutan. Perusahaan menyediakan dana awal, dana abadi ataupun dana rutin bagi aktivitas yayasan tersebut. Ketiga, perusahaan berpartner atau bermitra dengan pihak lain. Biasanya yang menjadi mitra dalam kegiatan-kegiatan tersenut adalah LSM, instansi pemerintah, universitas, dan media masa. Keempat, bergabung dala konsorsium. Perusahaan ikut mendirikan dan menjadi anggota serta mendukung suatu lembaga sosial yang didirikan.

Dari keempat model tersebut, ternyata model ketigalah yang banyak diminati dan dilakukan oleh perusahan akhir-akhir ini. Yaitu menggandeng mitra dengan organisasi sosial dalam menjalankan kegiatan sosialnya. Kalau dikaji lebih lanjut, menurut pendapat saya model inilah yang memiliki potensi yang menguntungkan bagi kedua belak pihak khususnya bagi perusahaan yang bersangkutan.

Pertama, kontribusi perusahaan dalam kegiatan kedermawanan akan membangun image sosial positif perusahaan sebagai entitas bisnis. Hal ini akan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan yang bisa mendongkrak tingkat penjualan produk-produknya sehingga pada akhirnya akan meningkatkan laba perusahaan. Selain itu keberadaan perusahaan akan mendapat simpati dan dukungan masyarakat penerima manfaat dana sosial perusahaan tersebut, terutama masyarakat yang berada di sekitar perusahaan paling menantikan adanya program-program sosial yang menyentuh mereka.

Kedua, bermitra dengan pihak lain khususnya LSM yang kompeten, lewat kerja sama ini perusahaan tidak banyak direpotkan dengan hal-hal teknis pelaksanaan program-program kegiata sosial yang diselenggarakan sehingga akan lebih optimal hasilnya karena ditangani oleh pihak yang dianggap lebih kompeten dan profesional. Selain itu juga akan menimbulkan korelasi positif antara perusahaan dengan lembaga-lembaga swadaya masyarakat

Ketiga, jika mitra kerjasamanya adalah LSM yang berbentuk LAZ (Lembaga Amil Zakat) yang mendapatkan pengesahan resmi dari pemerintah, maka perusahan akan lebih diuntungkan lagi dengan diberlakukannya UU No 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan UU No 17/2001 tentang Pajak Penghasilan. Karena dana sosial perusahaan yang berupa zakat secara legal bisa dijadikan sebagai biaya yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak dalam penghitungan dan pembayaran pajak penghasilan badan (perusahaan).

Hal ini tidak bisa dilakukan jika dana sosial yang dikeluarkan dalam bentuk sumbangan biasa baik diserahkan langsung maupun melalui LSM-LSM atau yayasan-yayasan yang bukan LAZ. Karena sumbangan atau bantuan semacam ini tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto dalam penghitungan pajak penghasilan perusahaan yang harus dibayarkan kepada pemerintah.

Ini adalah keuntungan yang berlipat ganda bagi perusahaan. Sebuah pilihan yang sangat bijak bagi perusahaan untuk memberikan kontribusi dana sosial dalam bentuk zakat yang disalurkan kepada Lembaga Amil Zakat disahkan. Dan saya kira ini adalah pilihan yang sangat rasional mengingat:

1. Banyak perusahaan-perusahan yang ada di Indonesia sebagian besar sahamnya dikuasai oleh orang muslim yang memiliki kewajiban agama untuk mengeluarkan zakat atas usaha yang dimiliki orang-orang muslim apabila mencapai nishab/batasnya.

2. Zakat bisa dijadikan sebagai biaya yang dapat dikurangkan atas penghasilan kena pajak dalam perhitungan pajak penghasilan perusahaan Dengan demikian akan mengurangi besarnya nilai pajak yang dibayarkan perusahan. Dengan berkurangnya pajak penghasilan secara otomatis akan meningkatkan laba perusahaan. Dengan laba yang besar perusahaan bisa memberikan deviden yang lebih besar kepada para investor/pemegang sahamnya.

Jika devidennya besar maka semakin banyak investor yang berminat menanamkan sahamnya ke perusahaan, dengan demikian modal persuahaan juga semakin besar. Tambahan modal saham tersebut bisa digunakan untuk ekspansi perusahaan. Asumsi ini sesuai dengan keyakinan agama, Allah menjanjikan bahwa harta yang dikeluarkan zakatnya tidak akan berkurang malah akan semakin bertambah dan berkembang. Ini merupakan barokah atas pelaksanaan kewajiban zakat yang diperintahkan.

3. Dengan menberikan dana sosialnya ke lembaga amil zakat (LAZ) berarti perusahaan turut berartisipasi dalam pengentasan kemiskinan karena dana zakat disalurkan kepada delapan golongan, fakir miskin termasuk diantaranya. Sehingga jika masalah kemiskinan dapat terselesaikan maka daya beli masyarakat akan meningkat dan pangsa pasar produk-produk perusahaan juga semakin meluas seiring dengan meluasnya kesejahteraan sosial. Karena masyarakat jualah yang menjadi konsumen dari produk yang dihasilkan perusahaan.

4. Image sosial perusahaan yang terbangun dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perusahaan karena LAZ yang menjadi mitra memiliki status sosial yang terpercaya oleh masyarakat dalam kredibilitasnya sebagai organisasi yang berbasis amanah.

Inilah alternatif pilihan yang menjanjikan keuntungan berlipat ganda dunia akhirat, lantas kenapa tidak? Wallahu a’lam bish-showab.


*) Penulis adalah direktur Pos Keadilan Peduli Ummat (PKPU), Lembaga Pembangunan Ummat Dan Amil Zakat Nasional